Senda gurau terdengar nyaring di sebuah kamar asrama milik Fauzan dan Miftah. Keduanya sedang asyik membahas tentang politik balas budi yang terjadi di kalangan relasi ayahnya.
"Ayah loe dulu juga gitu, bro? Nyelundup sana, nyelundup sini? Hahaha... Kayaknya masih parah ayah gue deh, bro. Loe tahu kagak, ayah gue dulu yak hampir masuk jeruji najis itu gara-gara ngumpetin bundelan karung yang isinya milyaran,bro."
"Tuh duit darimane,bro?" tanya Miftah heran.
"Ya dari tikus tikus got itulah.. Masa' dari pak kyai Wahyu Islam?!"
"Ssstt..bro, jangan kenceng-kenceng ngomongnya, ntar kalo ada santri laen yang denger trus ngadu ke kyai Wahyu bisa berabe kita.."
"Hehehe... Iya juga sih. Eh,eh.. sini,sini.. gue ada rencana."
"Apa, apa?" Miftah mendekat, keduanya berubah menjadi raut serius. Karena biasanya jika Fauzan udah punya ide-ide brilian, misi itu selalu diminati sama Miftah juga.
"Kita udah berapa hari di Kudus?"
"Emm... yang waktu kita berkelana diitung juga kagak? Apa pas kita udah di asrama sini doang?"
".................................................................." Fauzan sengaja diam. Ia tahu watak sahabatnya yang terkadang masih lemot juga.
"Napa loe diem?" tanya Miftah polos
"Bro, ganti topik bentar. Loe udah sama gue hampir berapa lama sih?"
"Kalo gue nggak salah inget udah 19 tahun-an,bro. Kan dari bayi nyampe kita segede gini kita always together. Hehehe..."
"Nah, kalo loe tahu selama apa kita bareng terus, napa sampe sekarang loe masih lemot sih dengan apa yang gue omongin?? Huhh...."
"Afwan...Afwan.... Hehehe.... Lanjut,lanjut..!"
"Gini bro, gue pengin ngebuktiin kalo kyai Wahyu bener-bener seorang muslim sejati apa nggak.. Loe tahu lah maksud gue, kayak biasanya kita gitu.."
"Wah bro, gue gamang kalo soal ini. Beliau itu ma'rifat, gue.........................."
"Nah,justru itu... Seandainya dengan kemakrifatannya itu beliau udah tahu niat usil kita, otomatis donk kita di sidang. Gue kira dalam persidangan tersebut kita akan tahu adil tidaknya beliau, bijak atau enggaknya beliau dalam memutuskan mas'alah."
"Ooo...gitu?"
"Deal???"
"Na'am, sure.. okay!!"
"Bidik target kapan nih mulainya?"
"Gue sih mending hari kamis,bro.. Ba'da pengajian ."
"Sip kalau gitu.. Semoga misi kita kali ini di ridhoi oleh Allah."
"Aaamiin................."
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
"Afwan, kenapa kamar saya hanya ada satu kasur ya akh?" tanya Salim kepada penjaga kantin malam itu.
"Lho, sampeyan ndak tahu? Kamar nomor 12 kan istilah gaulnya VIP tho.. Yang buat para 'peminta spesial' gtu.. Yaach..meskipun antum liat kamarnya biasa wae, tapi ya ane bilang tetep spesial karena cuman antum yang nempatin."
"Afwan, cuma di kamar 12 saja?"
"Iyo......." kata kang Dul sambil mengangguk pasti.
"Kenapa saya?"
"Yo, mungkin karena antum punya hubungan nasab sama kyai."
"Tidak,tidak. Saya tidak punya hubungan nasab dengan beliau. Bertemu saja baru satu kali,akh. Waktu penyerahan formulir dulu."
"Hemm...kalo begitu, mungkin keluarga antum kenal sama kyai?"
"Keluarga?" Salim buru-buru lari ke kamarnya mengambil ponsel dan menghubungi papanya. Ia agak kesal dengan tingkah ayahnya kali ini. Menempatkan dirinya masih pada kemewahan. Padahal, tujuan ia berkelana jauh-jauh ke Kudus kan ingin menemukan sesuatu yang baru, sesuatu yang jauh dari kemewahan.
"Assalamu'alaikum Papa..."
"Wa'alaikumussalam anakku...."
"Pa, Salim nggak mau.................................."
"Iya,iya,Papa tahu kamu akan protes seperti ini,nak.Tapi pertimbangkanlah dulu,kau itu jauh dari orangtua. Kami cuma memprioritaskan kebutuhanmu sebagai yang utama."
"Tapi Pa, bukan dengan cara yang berlebihan seperti ini... Salim ingin hidup normal, seperti remaja pada umumnya. Pa, maaf, bukannya Salim tidak menghargai semua pemberian papa dan mama. Namun Salim juga ingin bisa mandiri seperti pria lain."
"Sudahlah, dasar anak tak tahu diuntung. Terserah saja, mulai sekarang urus dirimu sendiri."
Klim. Mati. Bersamaan dengan itu, Salim marah dengan dirinya sendiri. Salim merasa tak berguna jadi anak yang harus terus mengandalkan orangtuanya. Dan kali ini puncaknya, selama ia hidup baru kali ini Salim kena marah papanya.
Tak berapa lama kemudian, ada yang mengetuk pintu kamar Salim. Dengan muka kusut,ia buka pintu kamarnya. Ternyata kyai Wahyu. Salim sangat kaget dengan kehadiran beliau,namun di sisi lain ia amat senang. Kegelisahannya tentang kamar hampir menemui titik cerah dimana ia bisa langsung jujur pada kyai Wahyu tentang apa tujuannya ke Kudus.
"Assalamu'alaikum...."
"Wa'alaikumussalam, kyai..." jawabnya lirih. Salim menunduk, ia sedikit gemetar.
"Boleh ana masuk, anakku?" tanya kyai.
"Silahkan...silahkan masuk,kyai....."
Kyai Wahyu duduk disamping Salim yang masih tertunduk. Seperti ada yang berhenti di tenggorokannya saat ia berusaha ingin memulai perbincangan. Kyai Salim tahu, tapi hanya tersenyum. Hening sejenak, keduanya terpaku pada hembusan angin malam dan sapa hangat binatang jangkrik.
"Emm...gini pak kyai........................."masih gemetar mengucapkannya
"Mau tanya masalah penempatanmu di kamar ini, nak?" terka kyai Wahyu,
"Be...ben...benar, benar kyai.. Itu yang mau saya tanyakan."
"Kalau jawabannya adalah keputusan ana?"
Kening Salim mengerut. Ia bingung.
"Jawabannya adalah keputusan ana. Fahimtum?"
"Afwan, laa afham.." Salim menggeleng, Kali ini refleks ia menatap ke arah kyai Wahyu.
"Kau membebani dirimu sendiri dengan masalah sepele begini,nak. Mungkin belum saatnya dirimu tahu. Patuhi saja apa yang ana putuskan. Antum sanggup?"
"Tidak kyai, saya belum sanggup menerima ini semua. Yang saya inginkan bukan peng-istimewaan terhadap saya seorang. Saya tak ingin menjalani hidup baru saya di asrama ini dengan bayang-bayang harta orangtua saya, kyai. Maaf kyai, sekali ini saja, meski saya tahu kalau saya sangat lancang, berani minta ini-itu pada kyai, tapi... tapi saya mohon, pindahkan saya ke kamar yang biasa saja."
"Jika antum belum sanggup, jalan keluarnya adalah antum lebih baik pindah asrama."
Seperti ada yang memukul gendang di hati Salim. Kyai Wahyu memberi waktu 3 hari untuk Salim. Keputusan ada padanya, bukan pada kyai Wahyu.
Ya, 3 hari itu akan menjadi hari sakral dimana Salim akan dipertemukan dengan ketiga sahabat barunya.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Dika, cerita mengenai dirinya agak sedikit aneh. Dimana ia tersohor karena IQ-nya tinggi, mendadak saat pertama kali memasuki gerbang asrama (malam pertama masuk hampir bebarengan dengan Salim) merasa linglung dengan area ini. Ia tahu nomor kamar asramanya,namun berulang kali ia cari nomor kamar itu berulang kali pula ia tersesat. Hingga tengah malam, Dika tak juga menemukan kamar nomor 45 itu. Karena kelelahan ia beristirahat sebentar disamping taman belakang asrama. Dika tertidur pulas di dekat taman itu.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Misi mulia bin aneh milik Fauzan dan Miftah, kegelisahan milik Salim, dan perubahan mendadak milik Dika, akan mempertemukan mereka pada satu malam yang singkat ini.
Hmm... mau tahu kelanjutannya? Di tunggu saja kemana arah cerita ini.....
to be continued......................... ^_^
@beranda inspirasi, Bintang-Bintang Malam